Orang yang Tidak Bekerja, Jangan Makan!
Pdt.Bigman Sirait
PEKERJAAN di dalam kekristenan merupakan bagian yang “menempel” pada diri manusia
karena memang manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk pekerja. Manusia sebagai
makhluk pekerja harus bekerja. Ada orang yang sejak lahir sudah mengalami cacat dan lain
hal sehingga tidak bisa bekerja, tentu ini sebuah pengecualian. Jadi tidak ada alasan untuk
tidak bekerja. Karena itu setiap orang jangan menghina dirinya dengan tidak bekerja,
melainkan menghargai diri dengan membekali diri untuk bisa bekerja.
Kita harus melakukan pekerjaan sungguh-sungguh. Kita tidak boleh tidak bekerja
dengan berbagai alasan yang tidak pas. Rasul Paulus dalam II Tessalonika 3: 10-12, antara
lain berkata, “Kalau tidak bekerja, jangan makan!” Ini teguran yang sangat telak terhadap
orang-orang di Tessalonika karena mereka diwarnai konsep kekacauan soal kedatangan
Yesus, sampai ada beberapa orang dengan kemalasannya, tidak mau bekerja. Paulus
menegur mereka dengan keras, “Kalau tidak mau bekerja, jangan makan!” Karena itu
pekerja Kristen harus menjadi pekerja yang bertanggung jawab penuh. “Orang yang bekerja
berhak untuk makan, yang tidak bekerja jangan makan!” Kalimat ini juga perlu diperhatikan
serius oleh kita yang hidup di jaman ini.
Pertarungan di dalam dunia kerja begitu luar biasa. Orang begitu gesit menggunakan
waktunya. Bahkan dengan dalih lembur kadang kala orang bekerja lebih 12 jam setiap hari.
Untuk meningkatkan harta, orang tidak lagi mengenal hari Minggu sebagai hari libur. Tapi
bukan model kerja seperti itu yang dimaksud Tuhan. Kita tidak perlu menjadi workholic,
menganggap pekerjaan adalah segalanya, bahkan menjadikan pekerjaan itu tuhan (berhala).
Tuhan tidak mau kita seperti itu, dan bukan itu yang dimaksud Alkitab. Kita juga tidak bisa
berdalih karena Tuhan Yesus mau datang maka tidak bekerja. Justru Tuhan Yesus mau
datang kita harus bekerja baik-baik.
Kesalahan orang Kristen, karena membuat split antara pekerjaan dan pelayanan.
Martin Luther berkata, “Ketika engkau bekerja engkau sedang berdoa”. Nah orang membuat
split, memisahkan pekerjaan dengan pelayanan, sehingga kadang-kadang pelayanan diberi
konotasi sebagai sesuatu yang suci, sakral, lalu kerja itu sekuler. Pemisahan ini kurang bisa
dipertanggungjawabkan, karena sebenarnya seluruh aktivitas kita kan untuk Tuhan. Oleh
karena itu kita tidak boleh memilah-milah, memisahkan hal itu, sehingga nanti dengan dalih
rohani justru tidak bekerja. Nah justru yang tidak kerja itu yang tidak rohani.
Kalau hanya pendeta yang disebut pekerja rohani, dan yang lain sekuler, berarti
sorga kosong melompong, karena hanya pendeta yang masuk sorga. Semua orang
bertanggung jawab pada prinsip yang sama, tugas yang sama. Kita mengemban tugas untuk
bersaksi tentang Tuhan dalam bidang yang berbeda. Karena itu, bekerjalah dengan penuh
tanggung jawab.
Iman tanpa perbuatan
Berdoa adalah sesuatu yang sangat rohani dalam pengertian sesuatu yang harus kita
kerjakan. Berdoa itu adalah bagian yang tidak terpisahkan dari hidup kita. Tetapi ketika kita
tidak bekerja dengan dalih berdoa, muncul tanda tanya, “Waktu berdoa kita bertemu dengan
siapa?” Kalau ketemu Tuhan pasti digerakkan untuk bertanggung jawab di tengah dunia ini.
Kalau ketemu Tuhan pasti digerakkan untuk terjun menolong orang. Yakobus pernah
mengkritik orang-orang Kristen yang dengan pongah berkata, “Aku punya iman”. Yakobus
langsung balik bertanya, “Kalau kau punya iman mana perbuatanmu?”
Kita jangan terjebak pada perangkap yang salah sampai tidak lagi bisa menikmati
keutuhan kekristenan. Ada jutaan mata mengamati kehidupan orang Kristen, di dalam
tanggung jawab kerjanya. Kalau kita menyebut diri seorang Kristen yang baik, maka kita
harus menyelesaikan dengan baik pekerjaan yang menjadi tanggung jawab kita. Jangan lari
dari tanggung jawab itu. Kalau sudah begini bagaimana kita mau memuliakan Tuhan?
Kalau target kerja kita saja tidak selesai, yang bisa diukur secara kuantitatif dan
langsung kelihatan, bagaimana secara kualitatif? Pertanggungjawaban keuangan misalnya,
kalau kita betul-betul seorang Kristen mestinya akurat, satu sen pun bisa
dipertanggungjawabkan. Tetapi kalau pertanggungjawaban itu selalu meleset dengan dalih
tidak bisa mengaturnya, tidak menguasainya, kita tidak bisa membuatnya secara tepat,
bagaimana kita mengaku sebagai pekerja Kristen? Sementara di luar sana ada orang yang
bukan Kristen selalu tepat. Orang-orang pun bingung, mana Kristen mana yang bukan?
Maka adalah sangat memalukan jika kita yang Kristen bekerja dengan cara yang tidak
Kristen, sementara orang yang bukan Kristen itu bekerja dengan cara Kristen.
Jika orang-orang Kristen punya responsibility, tanggung jawab, maka saya percaya
dunia kerja akan mencari pekerja-pekerja kristiani. Tetapi maafkan bila saya mengucapkan
satu kalimat yang mungkin tidak enak di kuping: banyak sekali pekerja Kristen yang sulit
dipercaya dan diandalkan. Nah ini menjadi pergumulan dan pertarungan. Yesus sendiri
mengkritik dan berkata, “Anak-anak gelap itu lebih cerdik dari anak-anak terang”. Orangorang
dunia lebih cerdik memanfaatkan situasi, membenahi dan mengembangkan
kemampuan dirinya.
Kalau jujur melihat sejarah, pekerja-pekerja Kristen ini sebenarnya luar biasa, bisa
diandalkan, mampu dan kuat bersaing, punya kelas, punya mutu. Eropa harus bersyukur
karena kemajuan mereka itu pengaruh Kristen yang sangat besar sekali. Tetapi sayang,
Eropa lupa akan Tuhan. Amerika maju, itu pengaruh Kristen yang sangat besar. Tetapi
sayang mereka juga mulai lupa Tuhan. Dunia Barat maju dan berkembang karena
kekristenan. Tetapi kemudian mereka menjualnya menodainya menjadikannya isme-isme
kapitalis.
Karena itu, ini menjadi pergumulan bagaimana kita menempatkan posisi sebagai
pekerja Kristen yang bertanggung jawab di dalam berbagai aspek bidang yang kita geluti
dan gumuli, supaya itu semua bisa menjadi puji hormat bagi nama Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar